MAKALAH
PASAL
73,77,78 UU NO 29 TAHUN 2004 (Praktik Kedokteran) dan PASAL 39-41 UU N0 23
TAHUN 2002 (Perlindungan Anak)
Kelompok
3
Irawati
Ratnasari(15150009)
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDY DIII KEBIDANAN UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat Nya sehingga makalah ini dapat tersusun
hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk
kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi
lebih baik lagi.
Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Yogyakarta,
Maret 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
.........................................................................................i
DAFTAR ISI
.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang ......................................................................1
1. 2
Rumusan Masalah
.................................................................6
1. 3
Tujuan Penulisan Dan Manfaat Penulisan ............................6
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 UU
No 29 Tahun 2004 tentang “Praktik Kedokteran”
..........7
2.2 UU No 23 Tahun 2002 tentang “ Pengangkatan
Anak”
........7
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
.............................................................................9
3.2 Saran
.......................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
.........................................................................................10
BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang
A. Praktik
Kedokteran
Profesi
kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia
(officium nobel) dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan
praktek kedokterannya atau melakukan pelayanan medis telah melalui pendidikan
dan pelatihan yang cukup panjang. Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi dokter makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta
tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan di bidang medis bermunculan. Di
negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah malpraktik medis ini
ternyata tuntutan terhadap dokter yg melakukan ketidak layakan dalam praktek
juga tidak surut. Biasanya yg menjadi sasaran terbesar adalah : dokter spesialis
bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), dokter spesialis anestesi , dokter spesialis
kebidanan dan penyakit kandungan.
Dewasa
ini, tindak pidana di bidang medis sangat menjadi perhatian karena perkembangannya
yang terus meningkat dengan dampak/korban yang begitu besar dan kompleks, yakni
secara umum tidak hanya dapat menguras sumber daya alam, akan tetapi juga modal
manusia, modal sosial bahkan modal kelembagaan yang dilakukan dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap korban tindak pidana medis tersebut.
Karena
pada dasarnya kebijakana hukum pidana upaya untuk merumuskan kejahatan yang
lebih efektif dan pada DIR I/ KAM & TRANNAS BARESKRIM POLRI Jakarta,Aspek
Hukum Malpraktek Pelayanan Kesehatan (Tinjauan Kasus Kriminal), 4 Juli 2010 hakikatnya
merupakan bagian dari integral dari usaha perlindungan masyarakat (social
welfare). Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan
masih terlihat sangat kurang.
Satu
demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien
yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk dan kadang-kadang
berakhir dengan kematian.Berikut contoh-contoh kasus dugaan malpraktik:
1. Kasus
pasien (Djamiun) yang meninggal dunia karena kelebihan dosis obat yang diberikan.
2. Kasus
Nyonya Agian Isna Auli yang mengalami
kelumpuhan setelah menjalani operasi Caesar.
3. Kasus
seperti alergi obat, misalnya Steven Johnson Syndrome, yang seharusnya tidak
dapat dikategorikan malpraktik , oleh media langsung divonis sebagai kasus
malpraktik.
4. Kasus
alergi kulit setelah terima imunisasi.
5. Kasus bayi kembar yang mengalami buta dan
gangguan penglihatan.
6. Seorang
dokter memberi cuti sakit berulang kali
kepada seorang tahanan padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan perkaranya.Dalam
hal ini dokter terkena pelanggaran KODEKI Bab-1 pasal 7 dan
KUHP pasal 267.
7. Seorang
penderita gadar di suatu RS dan ternyata memerlukan pembedahan segera.Ternyata
pembedahan tertunda-tunda, sehingga penderita meninggal Sri sumiati, 2009,
Kebijakan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang medis, hal 1 DIR
I/ KAM & TRANNAS BARESKRIM POLRI Jakarta, Op.Cit., hal 36.
8. Maulana
adalah seorang anak berusia 18 tahun. Dulunya adalah anak yang menggemaskan dan
pernah menjadi juara bayi sehat. Namun makin hari tubuhnya makin kurus.
Dan organ tubuhnya tidak bisa berfungsi
secara normal. Tragedi ini terjadi ketika Maulana mendapat imunisasi dari
petugas kesehatan. Diduga kuat Maulana adalah korban mal praktek.
Di
dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku normaetika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek
sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan
dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal
ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika
dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain
apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sanksi, maka ukuran
normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau
yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.Yang jelas tidak setiap
ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.
Tulisan
ini dimaksudkan untuk menambah wawasan tentang kelalaian dan malpraktik medic
bagi semua pihak, agar ketertiban dalam profesi dapat diwujudkan. Selain itu,
pengalaman-pengalaman buruk sebagai akibat negative kemajuan dan perkembangan
yang terjadi di masyarakat, harus diwaspadai untuk tidak terulang di Negara
kita. Semua pihak tentu tidak menghendaki peristiwa krisis malpraktik yang
sangat merugikan masyarakat. Agaknya perlu direnungkan ucapan George Santayana:
“Those who forget the past are condemmed to repeat it”, kemudian ucapan hakim
Taylor yang berbunyi “it is often said that a good physician-patient
relationship is the best prophylactic against malpractice suit”.
Hubungan
dokter-pasien yang baik ini hanya dapat dicapai apabila masing-masing pihak
benar-banar menyadari hak dan kewajibannya serta memahami peraturanperundang-undagan
yang berlaku.
B. Perlindungan anak
Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa anak
merupakan asset utama.Tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab
keluarga, masyarakat dan negara. Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak
dipengaruhi oleh berbagai factor baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun
kultural yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak – hak anak.
Untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang - Undang (UU)
Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak – hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.
Akibat
kehilangan hak – haknya, banyak anak – anak menjalani hidup mereka sendiri.Oleh
karena tidak memiliki arah yang tepat, maka banyak pula anak - anak mulai
bersinggungan dengan hukum.Tindakan yang melawan hukum seperti pencurian,
perkelahian dan narkoba sangat sering dilakukan oleh anak.Hal ini terjadi
karena mereka sudah kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka miliki.
Pasal
13 (1) Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan
setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan,
dan
f. Perlakuan
salah lainnya.
Selanjutnya
dalam Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002 disebutkan pula bahwa setiap anak berhak
untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya,
bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri. Anak adalah pemimpin masa depan siapapun yang berbicara
tentang masa yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak.
Menyiapkan
Indonesia kedepan tidak cukup kalau hanya berbicara soal income per kapita,
pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya.Sesuatu yang
paling dasar adalah sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga,
masyarakat dan negara.Anak – anak yang karena ketidakmampuan, ketergantungan
dan ketidakmatangan baik fisik mental maupun intelektualnya perlu mendapat
perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa).Perawatan,
pengasuhan serta pendidikan anak merupakan kewajiban agama dan kemanusiaan yang
harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Anak
adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena
dalam dirinya melekat pula harkat, martabat dan hak – hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Orang tua, keluarga dan
masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraaan perlindungan anak, negara dan pemerintah
juga bertanggungjawab untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal.Upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan pembinaan,
pengembangan dan perlindungan anak, perlu adanya peran masyarakat baik melalui
lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa dan
lembaga pendidikan.
1. 2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan terdahulu, beberapa masalah dapat diidentifikasikan sebagai berikut
:
1.
Bagaimana isi dari Pasal
73,77,78 UU No 29 Tahun 2004 tentang “Praktik Kedokteran” ?
2.
Bagaimana isi dari Pasal 39-41 UU No 23 Tahun 2002 tentang “
Pengangkatan Anak”
?
1. 3
Tujuan
Penulisan Dan Manfaat Penulisan
Makalah ini sebagai suatu karya ilmiah bermanfaat bagi
perkembangan hukum diIndonesia khususnya tentang hukum yang mengatur mengenai kebijakan
hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis dan pentingnya perlindungan anak,
yang diharapkan penulis dalam penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui bagaimana isi
dari Pasal
73,77,78 UU No 29 Tahun 2004 tentang “Praktik Kedokteran” ?
2.
Mengetahui
bagaimana isi dari Pasal 39-41 UU No 23 Tahun 2002
tentang “
Pengangkatan Anak”
?
Adapun
yang menjadi manfaat penulisan makalah
ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas
yaitu:
A.
Manfaat Teoritis
a.
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis.
b.
Dapat memberikan masukan kepada
masyarakat, lembaga pemerintah, aparat penegak hukum tentang Kebijakan Hukum
Pidana Di Bidang Medis
B. Manfaat
Praktis
a. Dapat
dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat,
praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian dalam yang berkaitan
dengan Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Medis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pasal
73,77,78 UU No 29 Tahun 2004 tentang “Praktik Kedokteran”
Pasal 73
Setiap orang dilarang menggunakan identitas
berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/ atau surat izin praktik.
Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode
atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan
kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh
peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Setiap orang dengan sengaja menggunakan
identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 ayat (20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
2.2 Pasal 39-41 UU No 23 Tahun 2002 tentang “
Pengangkatan Anak”
Pasal 39
1) Pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2) Pengangkatan
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3) Calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4) Pengangkatan
anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5) Dalam
hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan denganagama
mayoritaspenduduk setempat.
Pasal 40
1) Orang
tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan
orangtua kandungnya.
2) Pemberitahuan
asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan
dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Pasal 41
1)
Pemerintah dan masyarakat melakukan
bimbingan dan pengawasan terhadap Pelaksanaan pengangkatan anak.
2)
Ketentuan mengenai bimbingan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setiap orang dilarang menggunakan identitas
berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/ atau surat izin praktik.
Pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak ,seagama dan
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
3.2 Saran
Dengan
adanya penerapan tanggung jawab dokter yang sudah diberikan oleh pihak Rumah
Sakit atas tindakan medis yang dilakukan dokter berdasarkan implied consent
kepada pasien gawat darurat, diharapkan dokter mampu untuk memegang teguh
prinsip tanggung jawabnya secara profesional dalam memberikan pelayanannya
kepada pasien.
Perlindungan
anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.Secara
langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang
menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat
berupa cara melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari
dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara,
mencegah kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan
cara menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud dengan
perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung
ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan
kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut
DAFTAR
PUSTAKA
1. e-journal.uajy.ac.id/3608/4/3HK10026.pd
2.
Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Etika Dan
Hukum Dalam Tantangan Zaman, Jakarta : EGC, hal 19
3. Sri
sumiati, 2009, Kebijakan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang
medis, hal 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar